RSS

Kamis, 07 Januari 2010

Mengarifi Gelar Pahlawan

Pepatah mengajarkan kita dengan ungkapan, “Gajah mati meninggalkan gading, manusia mati meninggalkan nama.” Tidak lama setelah wafatnya KH. Abdurrahman Wahid-Gusdur- pada 30 Desember 2009, publik kemudian disuguhkan lagi dengan kehebohan baru tentang pro kontra gelar pahlawan bagi seorang Gusdur. Memang, wafatnya Gusdur telah memberikan efek psikologis tersendiri bagi bangsa Indonesia. Kita telah kehilangan salah satu putra terbaik bangsa. Gusdur telah memberi warna tersendiri dalam potret sejarah bangsa. Kontribusi pemikirannya tentang demokratisasi adalah salah satu hal penting untuk dihargai dan dikembangkan.

Gelar pahlawan dan semangat kepahlawanan adalah satu keping mata uang. Di mana kedua sisinya adalah menyatu, bersenyawa. Gelar pahlawan sejatinya bukanlah simbolisasi kebanggaan primordial, apalagi golongan dan keluarga. Gelar pahlawan adalah simbol sakralitas misi kemanusiaan. Simbol dari luhurnya semangat kepahlawanan itu sendiri. Coba kita lihat, bagaimana epik kepahlawanan dan semangatnya mengajarkan kita tentang arti pahlawan itu sendiri.

1915, genap seabad Belanda merdeka dari jajahan Perancis. Bagi Wilhelmina, Ratu Belanda, tentu sangat menyakitkan diperbudak oleh Napoleon yang pendek itu. Untuk merayakannya, digelarlah perayaan besar-besaran di negeri penuh tanggul tersebut. Ternyata perintah perayaan pun sampai ke negeri jajahannya, Hindia Belanda. Betapa sakitnya bangsa kita pada waktu itu, dimana kita harus merayakan kemerdekaan bangsa yang menjajah tanah kelahiran kita. Jalan-jalan pun penuh dengan hiasan lampu. Merah putih biru berkibar dimana-mana.

Dengan hati perih, dada sesak, tangan-tangan memar berwarna biru akibat tanam paksa itu berjalan gontai ikut merayakan titah sang ratu keriput, Wilhelmina. Pada saat yang sama, para priyayi malah bernyanyi nyaring, “Hidup pulau dan bangsa Jawa.” Sambil menjilat tuannya, Belanda. Ambtenar-ambtenar pun lupa, bahwa rakyat sudah muak dengan semuanya. Muak dengan tanam paksa. Muak dengan nihilisme pahlawan dan semangat kepahlawanan.

1916, Syarikat Islam mengadakan National Congress Central Sjarikat Islam [ Le Natico] dengan satu pesan jelas, tegas, dan menembus matinya nurani para ambtenar serta priyayi. Bahwa pribumi menuntut berpemerintahan sendiri. Merdeka dari perbudakan. Merdeka dari penjajahan Belanda. Inilah seruan terlantang di zamannya. Pengejawantahan dari semangat kepahlawanan sejati. Seperti apa yang dikatakan Natsir, “ Jangan pernah berhenti tangan mendayung biar diri tak terhanyut arus.” Semangat luhur itulah yang berani menantang badai, melawan arus.

Dengan tangan mengepal, pemuda itu berdiri dihadapan orang banyak. Di hadapan ribuan massa yang tumpah ruah di alun-alun Bandung. Pemuda itu tidak ingin membiarkan diri dan rakyatnya terhanyut arus. Membiarkannya tenggelam dalam ketidakpastian dan tak berpengharapan. Tidak. Dia tidak ingin rakyatnya terus berada dalam ketiak penjajah Belanda. Pemuda itu adalah Raja jawa tanpa mahkota. HOS Tjokroaminoto itulah namanya. Tidak sedikit rakyat yang percaya bahwa dia adalah Eru Tjokro dalam Jongko Joyoboyo. Ratu adil.

Tapi itulah pahlawan sejati. Dia tidak pernah sedikitpun mempedulikan tentang gelar apalagi balasan. Baginya, hanya kerja-kerja besarlah yang terpikirkan dan memenuhi ruang-ruang kehidupannya. Seperti pemuda itu, kata-katanya begitu inspiratif. Merdu, mengena, dan membahana. “Meskipun jiwa kita penuh dengan harapan dan keinginan yang besar, kita tidak pernah bermimpi tentang datangnya Ratu Adil. Atau kejadian yang bukan-bukan, yang kenyataan tidak pernah terjadi. Tapi kita akan terus mengharapkan dengan ikhlas dan jujur akan datangnya status berdiri sendiri bagi Hindia Belanda…Tuan-tuan jangan takut!”

Epik kepahlawanan HOS Tjokroaminoto telah mengajarkan kepada kita tentang makna pahlawan yang sesungguhnya. Yaitu tentang kerja-kerja besar dan panjang yang belum selesai. Tentang harapan dan optimisme. Tentang pemikiran dan jejak sejarah. Memprihatinkan jika kemudian gelar pahlawan sudah berubah menjadi sebuah simbolisasi kebanggaan primordial, golongan atau keluarga. Apalagi jika gelar pahlawan sudah menjadi dagangan politik. Usulan untuk menjadikan Gusdur sebagai pahlawan Indonesia, kemudian diikuti oleh Golkar yang mengusulkan Pak Harto juga supaya diberi gelar pahlawan. Jika sudah seperti ini, maka politisasi gelar rentan menjadi sebuah tradisi. Akhirnya kita malah kehilangan momentum untuk memaknai rangkaian cerita kepahlawanan yang sejati.

Pahlawan dan semangat kepahlawanan adalah satu keping mata uang. Di mana kedua sisinya adalah menyatu, bersenyawa. Inti dari keduanya adalah semangat dan kesadaran untuk berkarya, berkontribusi. Pada ruang kehidupan kita masing-masing. Dengan rangkaian cerita yang indah dan inspiratif tentunya. Karena pahlawan adalah mereka yang luarbiasa, extraordinary. Baik secara kontribusi pemikiran maupun karya. Dan ini adalah saatnya kita melanjutkan cerita indah kepahlawanan itu, seperti Chairil Anwar katakan dalam sepenggal puisinya,

“Kami adalah tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan itu
Atau jiwa kami melayang
Untuk kemerdekaan, kemenangan, dan harapan
Atau tidak untuk apa-apa
Kami tidak tahu
Kami tidak lagi bisa berkata
Kaulah sekarang yang berkata.”

0 komentar:

Posting Komentar