RSS

Jumat, 08 Januari 2010

Gerakan Sipil dan Masyarakat Berpengharapan

Oleh : E. Chairil A. *
Momentum reformasi yang kita maknai sebagai fase kemerdekaan Indonesia jilid kedua, telah berumur mendekati tahun ke-12. Dalam rentang waktu itu setidaknya sudah ada dua perubahan yang bisa dirasakan oleh kita, yaitu demokratisasi dan kebebasan berpolitik. Terbukanya kran demokratisasi melalui rahim reformasi sejatinya adalah akumulasi dari berbagai perubahan sosial, ekonomi, politik, dan arus sejarah. Di satu sisi akumulasi berbagai hal tersebut menandakan bahwa, masyarakat kita sudah sampai pada titik kulminasi kemuakan akan ketidakbenaran, ketidakadilan, dan kesewenang-wenangan negara-dalam hal ini pemerintah- yang sudah berurat akar. Hal ini tentunya sangat berpengaruh pada kualitas kehidupan masyarakat kita sebagai entitas dari sebuah bangsa yang memiliki hak untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik.

Di sisi yang lain, terbukanya kran demokratisasi melalui rahim reformasi membawa satu pesan tegas dan jelas bahwa masyarakat kita sedang menjemput takdirnya untuk menjadi masyarakat berpengharapan. Menjalani hidup dengan kualitas yang lebih baik. Bekerja dengan penghasilan yang memuaskan, bisa memenuhi kebutuhan sandang, pangan, dan papan. Meningkatkan kualitas pendidikan tiap generasi. Hidup penuh dengan harapan dan optimisme. Masa depan yang terjamin oleh Negara. Itulah barangkali segelintir harapan yang menyeruak, hadir mengisi ruang-ruang kehidupan masyarakat kita bersamaan dengan lahirnya reformasi.

Hampir 12 tahun sudah umur reformasi. Dalam rentang waktu itu, ternyata harapan yang kita pupuk bersamaan dengan terbukanya kran demokratisasi dan kebebasan berpolitik, tidaklah menjelma menjadi kenyataan manis sesuai harapan. Demokratisasi hanya melahirkan kebebasan berpendapat yang cenderung bebas tanpa kontrol. Kita menjadi lebih senang meratapi nasib buruk, bahkan mempercayainya sebagai realitas yang kompleks. Sulit untuk kemudian di urai. Akhirnya harapan tinggallah harapan.

Negara adalah sandaran bagi masyarakatnya. Sangat wajar jika kemudian masyarakat menyandarkan harapan mereka kepada Negara. Pada saat lembaga hukum dan peradilan kita diserang oleh derasnya upaya pelemahan dan kriminalisasi, lalu kepada siapakah harapan itu harus disandarkan? Negaralah jawabannya. Sayangnya kita masih melihat betapa Negara belum bisa menjadi sandaran harapan masyarakatnya. Tapi kita patut bersyukur, pada saat yang sama gerakan masyarakat sipil menunjukkan eksistensinya. Dengan membawa pesan yang sama, bahwa kami sedang menjemput takdir menjadi masyarakat berpengharapan.

Pemilu 2009 sejatinya menjadi harapan akan terejawantahkannya kehidupan kita yang lebih baik. Kita telah menyelesaikan pesta demokrasi itu dengan baik. Walaupun masih banyak catatan yang mencederai kualitas penyelenggaraannya. Terutama hilangnya hak warga Negara untuk memberikan hak pilih dalam kontestasi politik tersebut. Hiruk pikuknya konstelasi politik pasca pemilu 2009, ternyata telah banyak menguras energi kita, baik secara sosial, ekonomi, maupun politik. Harus berani kita akui, bahwa harapan demi harapan terkikis. Kalah oleh hingar bingarnya konflik dan konstelasi politik kekuasaan.

Di akhir tahun 2009, gerakan sipil semakin menguat dan menunjukkan peran serta eksistensinya. Di saat hukum sudah tidak bisa menjawab rasa keadilan masyarakat, maka hadirlah gerakan-gerakan sipil sebagai jawaban atas pupusnya harapan itu. Ada gerakan koin peduli prita, gerakan satu juta fesbuker dukung pembebasan bibit dan Chandra, dan gerakan lainnya. Menguatnya gerakan sipil di penghujung tahun 2009 tetap konsisten dengan membawa pesan tegas, bahwa masyarakat ingin menjemput takdirnya menjadi masyarakat berpengharapan. Gerakan sipil semakin menguat karena ekses dari derasnya arus informasi dengan segala sarananya. Hari ini kita melihat dunia yang semakin terbuka, telanjang. Pun begitu juga dalam hal hubungan masyarakat dan Negara. Akses informasi yang begitu cepat dan mudah, hampir bisa dikatakan juga sudah menelanjangi batas-batas penyelenggaraan Negara. Alhasil hubungan masyarakat dan Negara semakin egaliter. Dimana Negara tidak lagi bisa sewenang-wenang dengan kekuasaannya. Karena pada saat yang sama, ada masyarakat sipil yang kuat dan siap menjadi partner bagi Negara.

Januari 2010, menjadi lembaran baru dalam sejarah kita. Terutama di bidang ekonomi. Dengan diberlakukannya ASEAN-China Free Trade Agreement [ACFTA]. Hal ini tentu akan sangat mempengaruhi perekonomian kita. Dimana produk China yang dikenal murah dan berkualitas akan dengan mudah membanjiri pasar domestik. Gerakan sipil yang menguat di penghujung tahun 2009, telah menunjukkan perannya dalam memberikan tekanan politis. Dan di tahun 2010 ini, sepertinya gerakan sipil akan semakin berdiaspora dan berdifusi menyesuaikan dengan kebutuhan zamannya. Terutama akan semakin menguat perannya dalam rangka melindungi kepentingan ekonomi domestik. Sebagai akibat dari diberlakukannya perdagangan bebas ASEAN-China. Sebagai contoh, jika industry tekstil di Jawa Barat yang notabene pemasok terbesar pasar tekstil domestik terancam, maka bisa dipastikan intensitas gerakan sipil akan semakin banyak dan kuat. Bukan tidak mungkin, unjuk rasa dan boikot produk asing akan menjadi menu rutin di masyarakat kita.

Pada setiap momentumnya, gerakan sipil selalu membawa satu pesan tegas. Bahwa masyarakat ingin menjemput takdirnya menjadi masyarakat berpengharapan. Merasakan betapa nyaman dan bahagianya tinggal di Negara kaya seperti Indonesia. Mendapatkan hak hidup yang layak sebagai warga Negara. Merasakan buah kesejahteraan dari keberlimpahan kekayaan alam kita. Dan sejatinya itu adalah kewajiban Negara. Masyarakat menyandarkan harapannya pada Negara. Itu sangat wajar adanya. Tinggal bagaimana sekarang Negara bisa menjadi sandaran yang kuat bagi masyarakatnya. Dan kita pun selalu menyiapkan diri untuk menjadi masyarakat yang kuat dan bisa menjadi partner bagi Negara. Dalam setiap nafasnya, gerakan sipil hanyalah ingin menjemput sejumput harapan, sebagaimana taufik ismail katakan dalam penggalan puisinya,

“Berpuluh tahun kita mencari bentuk demokrasi
Yang tepat formatnya bagi kita serta serasi
Tetapi masih juga bablas disana-sini
Berpuluh tahun hukum kita tegakkan agar kukuh berdiri
Tegak dengan lurus berakar ke dalam bumi
Tetapi betapa rumitnya meneguhkan ini.”

Kemudian di penggalan akhir puisinya, Taufik ismail memberikan pesan tegas pada kita

“ Saudaraku,
Masih adakah kiranya harapan bagi kita, manusia Indonesia?
Mudah-mudahan masih ada
Ya, memang masih ada
Selepas seratus tahun bilangan masa
Mari kita berhenti menyalah-nyalahkan siapa
Dalam buku harian kita
Mari kita coret kata putus asa
Dalam kamus bahasa kita
Karena kita akan bangkit bersama
Dengan kerja keras diiringi khusuknya do’a
Dari atas sampai ke bawah
Kerja keras, kerja keras, kerja keras semua
Kemudian berdo’a, berdo’a, berdo’a semua
Berpeluh dalam kerja, menangis dalam do’a
Semoga Indonesia kita
Tetap disayangiNya
Selalu dilindungiNya."

--------------------------

* Pegiat Majelis Budaya Kader Kota Malang

0 komentar:

Posting Komentar