RSS

Senin, 01 Februari 2010

Altruisme di tengah Emosi

Oleh : Erwin Albanna*
Darah tak lagi memerah
Namun hitam bersama tanah
Dan serakan tulang belulang
Mendung menutup kota
Pohon-pohon terus terpukau
Keadilan ditanah ini telah lama runtuh
Tercabik dalam bendera usang yang rapuh…
[antologi embun bening]


Hari-hari ini emosi kolektif kita sebagai sebuah bangsa sedang bergemuruh. Betapa tidak, potret gerakan sosial moral tumbuh bagai cendawan dimusim hujan, pada setiap ruang dan strata social masyarakat. Tumbuh dan menguatnya gerakan sosial moral bukan lagi hanya berada ruang-ruang organisasi gerakan mahasiswa, aktivis LSM, tapi sudah menyebar ke ruang-ruang keluarga,masyarakat kecil yang notabene sebagai tukang becak,sopir angkot, loper koran, pengamen, bahkan sampai ke bonek sekalipun.

Emosi kolektif ini lahir karena dibenturkan dengan realitas sosial kebangsaan kita yang sangat memprihatinkan. Terutama dalam hal penegakkan supremasi hukum, pemberantasan korupsi dan pembangunan ekonomi. Ditengah keprihatinan itu muncullah semangat pengorbanan altruisme yang lahir dari kesadaran kolektif masyarakat.

Masyarakat kita seolah diajak untuk terlibat secara emosi dan partisipasi. Coba lihat saja, demonstrasi besar-besaran yang digelar pada 9 Desember 2009 untuk memperingati hari antikorupsi sedunia, dan demonstrasi pada 28 Januari 2010 sebagai momentum 5 tahun + 100 hari pemerintahan SBY. Kedua gerakan sosial moral itu hadir bagai gelombang tsunami yang ingin menghempaskan segala keangkuhan rezim kekuasaan. Segala bentuk ketidakadilan. Pembodohan. Dan otoritarianisme gaya baru yang dipertontonkan rezim penguasa.

Semangat pengorbanan altruisme selalu hadir dalam berbagai bentuknya. Mengisi ruang-ruang kosong dalam jiwa seorang manusia. Kehadirannya adalah sebentuk kesadaran kolektivitas komunal dalam menjaga dan mencapai tujuan bersama. Dia hadir sebagai antitesa permanen dari egoisme seorang manusia. Altruisme lahir dari kekokohan konstruksi mental spiritual seseorang. Ada semangat berkorban bagi orang lain dan kemanusiaan. Ada semangat kepahlawanan dalam keterbatasan-keterbatasan yang melingkupinya.

Tercatat dalam sejarah bahwa keagungan islam ini lahir dan ditulis oleh mereka yang notabene kaum fakir,budak,yatim piatu. Karena mereka adalah kelompok manusia yang mudah dibangkitkan kesadarannya. Dan sanggup memikul beban sejarah. Lahirlah nama-nama besar sepanjang sejarah kemanusiaan, Muhammad SAW, Abu Bakar bin Abu Quhafah, Bilal Bin Rabbah, dsb. Begitulah semangat altruisme mengajarkan kepada kita. Bahwa dia selalu singgah dikemah mereka-mereka yang notabene dilingkupi keterbatasan, untuk menuliskan sejarahnya.

Dalam konteks keIndonesiaan kita, semangat altruisme akhir-akhir ini telah menemukan momentumnya. Walaupun kehadirannya bersamaan dengan akumulasi emosi kolektif masyarakat kita yang telah muak dengan segala ketidakberesan pengelolaan negara. Semangat altruisme masyarakat kita berada ditengah emosi yang disebabkan oleh matinya semangat altruisme ditingkat elit penguasa. Belum pun kering bibir presiden, menteri dan pejabat negara itu mengucapkan sumpah pengabdian,alih-alih bekerja malah kemudian mengganti mobil dinasnya dengan yang sangat mewah. Belum pun usai membangun fondasi harapan yang kuat bagi bangunan peradaban Indonesia lima tahun kedepan di seratus hari masa kerjanya, sekarang sudah meminta kenaikan gaji. Amboii…enaknya jadi elit penguasa.

Banyak fakta yang mengagumkan ditengah masyarakat kita yang bercerita tentang makna altruisme sejati. Cerita tentang koin peduli prita itu adalah sebentuk altruisme luhur. Kesabaran seorang bocah 6 tahun bernama sinar merawat ibunya yang lumpuh, itu juga sebentuk altruisme luhur. Kesadaran seorang mahasiswa yang turun ke jalan menggelar parlemen jalanan, demi menyempurnakan kemerdekaan negerinya, itu juga altruisme luhur.

Ketika modernisasi telah memenjara relasi interpersonal, empati dan mereduksi semangat altruisme. Tapi semangataltruisme terus berjalan ke kemah orang-orang yang siap melanjutkan pendakian sejarah. Ketika egoisme telah menafikan kepedulian dan mengalienasi semangat memberi, dalam banyak hal karakter altruisme akan selalu menampakkan keluhurannya diberbagai ruang kehidupan dengan berbagai aktor sejarahnya. Dengan pengorbanan yang bersifat profan, tulus, dan penuh kemuliaan. Dan biasanya altruisme singgah dikemah orang-orang yang dilingkupi keterbatasan.


*Pegiat Majelis Budaya Kader Kota Malang

0 komentar:

Posting Komentar