RSS

Senin, 18 Januari 2010

Membonsai Optimisme Artifisial

“Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan
Atau jiwa kami melayang untuk kemerdekaan kemenangan dan harapan
Atau tidak untuk apa-apa,
Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata
Kaulah sekarang yang berkata”



Membaca sepenggal puisi Chairil Anwar di atas, seolah ingatan kita dibawa ke penggalan waktu dalam episode sejarah bangsa ini. Betapa tidak, di awal abad ke 20 gagasan kemerdekaan lahir dari sekumpulan pemuda yang dibuang ke negeri Belanda sebagai akibat dari dijalankannya politik etis. Ternyata hal itupun juga dirasakan oleh para pemuda dinegeri ini saat itu. Ada sebuah harmoni frekwensi dalam jiwa mereka. Kesamaan nasib yang melahirkan keluhuran cita-cita mengantarkannya untuk bertemu di titik frekwensi yang sama:kemerdekaan. Dalam kondisi menjadi anak jajahan kolonial Belanda, seolah zaman tidak memberikan harapan kepada sekumpulan pemuda itu. Apa yang bisa diharapkan dari sekumpulan pemuda yang tanpa senjata? Tanpa kekuasaan politik? Namun, mereka berani memilih percaya kepada optimisme. Sejarah kemudian menjawabnya dengan kelahiran sebuah bangsa bernama Indonesia.



Optimisme mereka hanyalah sepenggal cerita tentang begitu panjangnya rangkaian optimisme kolektif bangsa ini dalam membangun Indonesia. Semangatnya sudah di ajarkan oleh para pejuang nusantara sejak kedatangan imperialis portugis pada awal abad ke 15 untuk menjajah nusantara. Tepatnya sudah diajarkan oleh para ulama dan santri yang bahu membahu menggemakan gelora jihad untuk mempertahankan nusantara yang kaya. Ditengah keterbatasan dalam hal persenjataan perang, ternyata para ulama dan santri juga lebih memilih optimisme. Sejarah kemudian menjawab dengan bebasnya pelabuhan soenda kelapa yang menjadi cikal bakal Jakarta.

Bagi manusia yang hidup dalam dunia yang penuh dengan keterbatasan, optimisme adalah visi yang bisa menembus batas logika. Bahkan batas cakrawala zamannya. Itulah yang dipilih para ulama dan santri. Juga para pemuda yang dibuang ke negeri dingin bernama Belanda itu. Tapi justru optimisme jugalah yang telah mengantarnya menjadi manusia-manusia sejarah.

Dalam hal pemaknaan, terkadang-untuk tidak mengatakan seringnya- optimisme hanya berjarak setipis benang dengan kebanggaan masa lalu atau delusi keagungan. Optimisme mengajarkan kita untuk bisa menembus batas logika. Bahkan batas cakrawala zaman. Sedangkan delusi keagungan bisa memerangkap kita ke dalam kubangan fatamorgana realitas. Pengidap penyakit ini bisa menjalani hidupnya dalam alam realitas yang artifisial. Semu. Membaca realitas zaman kita hari ini, baik dalam konteks keummatan maupun kebangsaan bisa jadi kita secara kolektif terkadang terjebak dalam kondisi delusi keagungan. Bangga dengan kejayaan masa lalu. Pada saat yang bersamaan kaki kita terbenam dalam optimisme artifisial. Semu tanpa orientasi arus sejarah.



Kebanggaan masa lalu terkadang membuat kita senantiasa menghadirkan statemen euphoria atas kejayaan yang pernah kita raih di masa lalu. Seperti halnya ketika kita bangga dengan kejayaan peradaban islam yang selama 8 abad lamanya berpengaruh di muka bumi. Terlebih ketika kejayaan peradaban islam dalam hal keilmuan di zaman kekhalifahan Abbasyiyah mencatat saat-saat gemilangnya islam sebagai sebuah peradaban. Setiap penterjemahan satu buku asing dihargai dengan emas seberat buku tersebut. Dalam konteks seperti inilah, terkadang kita terjebak delusi keagungan. Kepuasan terhadap kejayaan tersebut kalau tidak disikapi dengan orientasi arus sejarah yang benar, maka bukan tidak mungkin akan membuat kita-sekali lagi-terbenam dalam kubangan delusi keagungan dan optimisme artifisial.

Selama bertahun-tahun dan bahkan sampai sekarang, kekayaan alam Indonesia yang berlimpah, telah membuat sebagian orang lupa bahwa semua itu terbatas adanya. Mencuri sedikit tidaklah mengapa. Toh masih banyak tersedia di alam begitu alibinya. Bahkan mengkavling dan menjualnya ke orang lain yang notabene orang asing demi kesejahteraan semu. Betapa tidak, budaya asal bapa senang [ABS] telah melompatkan angka-angka pembangunan dan pemerataan kesejahteraan itu. Hadirlah angka-angka politik yang mengklaim jumlah penduduk miskin kita berkurang menjadi kisaran 40 jutaan.

Sejarah pun mengantarkan bangsa ini pada episode kelamnya di akhir penghujung abad 20. Bersamaan dengan runtuhnya kekuasaan yang selalu mengutamakan pembangunan pada stabilitas politik dan ekonomi. Dengan meniadakan kebebasan. Terlebih kreativitas. Namun amat disayangkan, kran kebebasan yang telah terbuka itu ternyata juga membuat kita untuk bebas mencaci maki nasib buruk, keterbelakangan, yang kita percaya sebagai sebuah realitas. Aksiomatik. Bandul sejarah pun berayun, dari yang tadinya terperangkap oleh delusi keagungan, menjadi bangsa yang tak berani berpengharapan.

Hari-hari ini pun optimisme itu kian tergerus. Bangsa Indonesia sedang mengalami problem serius dalam hal penegakkan supremasi hukum dan keadilan. Lembaga hukum dan peradilan kita sedang diuji dengan derasnya arus pelemahan dan kriminalisasi. Terjadinya tarik menarik berbagai kepentingan baik individu maupun golongan, telah membawa kita pada pusaran masalah yang menguras energi, pikiran serta biaya ekonomi maupun social yang teramat besar. Kondisi yang tidak sehat tersebut, sejatinya telah membebani masyarakat kita secara komunal. Mempengaruhi tumbuhnya iklim usaha yang sehat, dan memberikan dampak signifikan terhadap anasir kehidupan berkebangsaan yang lebih luas.

Saatnya menyalakan lilin optimisme

Sepanjang tahun 1929 sampai 1937, langit sejarah Amerika mendung tebal bahkan disesaki awan menggulung hitam. Sebentang waktu itu, depresi ekonomi terbesar sepanjang sejarah sedang menghancurkan sendi-sendi kebangsaan mereka. Orang-orang berkerumun dijalanan, melambai-lambaikan permohonan untuk dipekerjakan. Krisis yang seolah sudah menutup segala ruang kemungkinan untuk bangkit itu, ternyata mampu melompatkan Amerika ke langit sejarah yang paling tinggi. Ilmu ekonomi, sains dan teknologi berkembang pesat menembus batas logika. Bahkan sampai sekarang. Padahal pada rentang waktu itu, langit sejarah mereka bukan dipenuhi awan cerah kejayaan, melainkan mendung hitam yang bergulung. Itulah awan hitam kekhawatiran.


Kita perlu merenung sejenak dan melihat langit sejarah bangsa kita. Apakah realitas dan problematika kebangsaan yang kompleks telah mengakibatkan awan hitam tebal bergulung dilangit sejarah kita? Adakah awan hitam kekhawatiran itu dilangit sana? Amerika di satu sisi telah mengajarkan kepada kita tentang optimisme sejati. Bukan optimisme artifisial yang bersekongkol dengan delusi keagungan. Tapi sebuah optimisme yang dilandasi keyakinan dan kepercayaan diri karena awan hitam tebal yang bergulung di langit sejarahnya. Itulah kekhawatiran.

Perubahan mendasar yang dibutuhkan sebuah bangsa yang sedang berada dipersimpangan jalan arus sejarah, adalah mengkudeta pesimisme kolektif. Menggantinya dengan optimisme sejati dan kepercayaan diri. Membonsai optimisme artifisial dan tipuan delusi keagungan dengan mengagregasikan optimisme kolektif yang berorientasi pada arus sejarah yang benar. Karena orientasi “arus sejarah” yang benarlah, yang bisa membedakan antara pesimisme, optimisme, dan delusi keagungan. Pesimisme bisa membuat kita terjebak pada orientasi masa lalu. Entah kehancuran, masa kelam, atau terbuang. Klimaksnya bisa membuat kita semakin terhempas dari arus sejarah dan selalu meratapi masa kini bahkan tidak berani menghadapi masa depan. Delusi keagungan bisa menipu diri kita dengan kekaguman berlebihan terhadap kejayaan masa lalu. Sehingga membuat kita menutup matahati dari kejernihan berpikir untuk melihat realitas hari ini dan merencanakan masa depan yang lebih baik. Sedangkan optimisme berbeda, dia adalah keberanian untuk menghadapi dan merancang masa depan yang lebih baik, serta mengambil yang terbaik dari masa lalu dan hari ini. Itulah optimisme sejati.

Membaca sepenggal puisi Chairil Anwar di atas, seolah ingatan kita dibawa ke penggalan waktu dalam episode sejarah bangsa ini. Penggalan waktu yang mengajarkan kita tentang betapa signifikannya peran optimisme dalam menentukan orientasi arus sejarah. Optimisme sejati yang diajarkan oleh para kelasi dan mahasiswa Indonesia yang sedang belajar di Mesir, pada suatu pertemuan rahasia menjelang kemerdekaan Indonesia. Sambil mengepalkan tangan dan berjanji setia atas nama keluhuran cita:kemerdekaan. Dan diikuti gemuruh takbir yang memecah keheningan malam. Itulah optimisme sejati. Sejarah kemudian menjawabnya dengan kelahiran sebuah bangsa bernama Indonesia.


0 komentar:

Posting Komentar