RSS

Senin, 18 Januari 2010

Kembali Ke Sejarah

Bila anak bangsa sudah mulai melupakan sejarahnya, maka hilanglah kebesaran generasi bangsanya...[Erwin Al Banna]

Manusia adalah makhluk pelupa. Kemarin seharusnya menjadi sejarah hari ini. Hari ini menjadi sejarah esok hari. Dan esok menjadi sejarah untuk lusa yang lebih baik. Begitu seterusnya tiada berkesudahan. Tapi ternyata tidak berlaku untuk manusia-manusia pelupa. Sejarah bagi para pelupa hanyalah catatan dan kumpulan peristiwa masa lalu. Padahal seharusnya sejarah itu adalah tentang peristiwanya itu sendiri. Bahkan menurut Al Ghazali, janganlah terkesima oleh sebuah fenomena tapi lihatlah apa yang ada dibalik sebuah fenomena. Sebuah peristiwa. Seperti sebuah kaidah, bahwa selalu ada yang terbatin di dalam setiap yang terlahir. Tampak adanya.

Hari-hari ini kita sebagai anak bangsa hidup dalam suasana kebangsaan yang masih belum menggembirakan. Nusantara Indonesia yang luas ini perut buminya menyimpan minyak dan gas bumi, tembaga, bijih besi, nikel, timah, hingga batubara. Lautannya kaya akan berbagai jenis ikan, kerang, rumput laut, hingga mutiara. Tanahnya sangat subur. Udaranya bersih. Matahari sepanjang tahun menyinari ribuan pulaunya. Tapi hari-hari ini kita masih melihat banyak anak bangsa yang mati kelaparan di Yahukimo setiap tahun karena siklus gagal panen tahunan. Kita masih menyaksikan betapa anak bangsa ini rela menggadaikan harga dirinya antre berdesak-desakkan hanya untuk mendapatkan ‘sekerat’ daging kurban. Kita masih melihat perampok yang merampok uang trilyunan rupiah masih belum tersentuh hukum. Padahal di saat yang sama, kita melihat ada yang hanya mencuri dua semangka, tiga kakau[coklat], bahkan hanya mencharge hape saja begitu mudahnya mendapatkan hukuman.

Kembali ke sejarah

Pasca kemerdekaan Indonesia tahun 1945 sampai sekarang bangsa kita masih gagap dalam menentukan model peradaban seperti apa yang akan dibangun di Indonesia. Tentunya ini menjadi masalah fundamen bagi kita sebagai anak bangsa. Hari-hari ini mungkin kita sedang mengalami amnesia sejarah. Betapa tidak, nusantara Indonesia yang dimerdekakan oleh darah para ulama dan santri ini tapi dalam perjalanannya pasca kemerdekaan seolah umat ini tidak berhak untuk menentukan nasib dan model masa depan peradabannya. Kita memang sedang mengalami amnesia sejarah, atau lebih tepatnya direkayasa untuk amnesia terhadap sejarah perjuangan bangsa kita sendiri. Kita dibuat lupa oleh penjajah Belanda melalui tangan para orientalisnya dengan didistorsikannya peran-peran sejarah umat islam dalam rangka menegakkan NKRI.

Kesadaran sejarah, menjadi satu hal fundamen bagi anak bangsa. Terutama kaum muslimin Indonesia. Sepertinya kita perlu bertanya. Kenapa Indonesia ini bisa menjadi Negara yang penduduk muslimnya terbesar di dunia? Peran tangan siapakah ini? Hal-hal seperti ini seharusnya menjadi pertanyaan dan kontemplasi bagi kita sebagai anak bangsa. Seperti kata Al ghazali, lihatlah sesuatu dibalik fenomena.
Keputusan Paus Alexander VI dalam perjanjian Tordesilas, 1494 M, yang memberikan kewenangan kepada kerajaan Katolik spanyol dan portugis, untuk memelopori menegakkan imperliasme Barat di berbagai belahan dunia, termasuk nusantara Indonesia. Pada saat itulah, nusantara yang aman damai ini menjadi bergejolak. Terjadi prahara di setiap wilayah yang disinggahi oleh para imperialis tersebut. Kemudian para Ulama dan santri bergerak dari satu surau ke surau yang lainnya, membangun kekuatan untuk mengusir penjajah. Tidak ada peran-peran sejarah Kerajaan Budha Sriwijaya dan Hindu Majapahit waktu itu. Karena keduanya memang sudah tidak ada.

Banyak fakta sejarah yang sejatinya itu menunjukkan betapa signifikannya peran para Ulama dan Santri dalam menegakkan NKRI. Sebagai contoh, Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah yang membangun tiga institusi politik islam yaitu Kesultanan Banten, Jayakarta, dan Cirebon. Kemudian bersama Fatahillah membangun Jayakarta, 22 Juni 1527 M atau 22 Ramadhan 933 H. Nama Jayakarta sendiri diambil dari Al Qur’an surah Al- Fath ayat 1, Inna Fatahna Laka Fathan Mubina. Makna Fathan Mubina adalah Kemenangan Paripurna atau Jayakarta. Dan dikemudian hari dikenal dengan nama Jakarta. Nama jayakarta, melambangkan rasa syukur kepada Allah, atas kemenangannya dalam menggagalkan usaha penjajahan Kerajaan Katholik Portugis, di Pelabuhan Soenda Kelapa. Kisah heroik Wali Songo melawan imperialis Barat dan peran-peran politiknya banyak terlupakan atau mungkin lebih tepatnya disembunyikan.

Kembali ke masa depan

Fakta-fakta sejarah yang menunjukkan betapa signifikannya peran-peran umat Islam dalam menegakkan NKRI tentunya masih banyak. Dan tidak akan cukup kalau kita menuliskannya dalam lembaran artikel sederhana ini. Setidaknya, gambaran sederhana di atas bisa memantik kesadaran kolektif kita tentang sejarah.

Ada sebuah komparasi menarik yang ingin kami berikan. Yaitu antara Indonesia dengan Tiongkok. Pada tahun 1987, Indonesia sudah mempunyai jalan tol Surabaya Gempol dan Jagorawi. Sedangkan pada saat yang sama, Tiongkok belum mempunyai jalan tol sama sekali. Alias nol kilometer. Tapi coba lihat hari ini, Tiongkok sudah melesat jauh meninggalkan kita. Mereka sudah punya minimal 30.000 km jalan tol yang menghubungkan setiap jalur perdagannya. Baik itu jalur utara, tengah, maupun selatan. Dengan kata lain, kalau dikonversikan Tiongkok membangun jalan tol setiap tahunnya sepanjang Surabaya-Medan atau sepanjang 2000km. Coba kita lihat Indonesia hari ini. Anda sudah tau jawabannya kan?

Dalam hal lain, Tiongkok sudah bisa memiliki devisa setiap tahunnya sebesar 1T USD atau sama dengan Rp.10.000 T. Sedangkan kita Indonesia hanya punya uang belanja, APBN sebesar Rp. 1000T. Artinya lebih kurang pemasukan Tiongkok samadengan 10 kali lipat pengluaran Indonesia. Anda tahu maksudnya kan?

Menjadi sebuah agenda mendesak bagi kita sebagai anak bangsa untuk kembali melihat sejarah kebesaran bangsa kita. Membaca ulang sejarah Indonesia dengan menangkap sesuatu dibalik fenomenanya mudah-mudahan bisa memberikan spirit dan panduan bagi kita dalam mendapatkan model masa depan bangsa ini. Dengan melihat fakta sejarah yang ada maka tidak berlebihan kalaulah kita sebagai anak bangsa bertemu pada satu kesimpulan bahwa Indonesia itu adalah Islam, atau Islam adalah Indonesia. Indonesia dan Islam adalah satu. Tidak pernah ada beda antara keduanya.

Para Ulama dan Santri sudah memperhatikan sejarah mereka di esok hari. Tinggal kita sekarang, apakah akan melanjutkannya atau tetap nyaman menjadi manusia-manusia amnesia. Peristiwa sejarah yang terjadi di tengah bangsa Indonesia sampai hari ini, hakikatnya merupakan kesinambungan masa lalu yang mana fondasinya sudah dipancangkan kuat oleh para Ulama dan Santri.

Manusia adalah makhluk pelupa. Kemarin seharusnya menjadi sejarah hari ini. Hari ini menjadi sejarah esok hari. Dan esok menjadi sejarah untuk lusa yang lebih baik. Begitu seterusnya tiada berkesudahan. Tapi ternyata tidak berlaku untuk manusia-manusia pelupa. Wal tandhur nafsun ma qaddamat li ghad. Perhatikanlah sejarahmu, untuk esok harimu [QS 59:18]. Wallohu a’lam bishshowab.

0 komentar:

Posting Komentar